Jika menurut catatan sejarah, Matematika telah lahir sejak 3000 SM yaitu pada saat Bangsa Mesir Kuno dan Babilonia mulai menggunakan aritmetika, aljabar, dan geometri untuk keperluan astronomi, bangunan dan konstruksi, perpajakan dan urusan keuangan lainnya. Sistematisasi matematika menjadi suatu ilmu, baru terjadi pada zaman Yunani Kuno yakni antara tahun 600 dan 300 SM. Sejak saat itu matematika mulai berkembang luas, interaksi matematika dengan bidang lain seperti sains dan teknologi semakin nampak. Kini, matematika telah menjadi alat penting dalam berbagai hal. Hampir setiap bidang ilmu dan teknologi memakai matematika. Dalam realita yang demikian, penguasaan terhadap matematika menjadi syarat perlu agar dapat mempertahankan eksistensi di era perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini.
Pembelajaran matematika secara formal umumnya diawali di bangku sekolah. Sementara itu, matematika di sekolah masih menjadi pelajaran yang menakutkan bagi para siswa. Di antara berbagai faktor yang memicu hal ini adalah proses pembelajaran yang kurang asyik dan menarik. Model pembelajaran yang sering di temui pada pembelajaran matematika adalah proses pembelajaran bercorak “teacher centered”, yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru. Sehingga guru menjadi pemeran utama dan kehadirannya menjadi sangat menentukan. Pembelajaran menjadi tak dapat dilakukan tanpa kehadiran guru. Siswa cenderung pasif dan tidak berperan selama proses pembelajaran. Sehingga proses yang muncul adalah “take and give”. Dalam merangkai pembelajaran, guru pada umumnya terbiasa dengan model standar, yakni pembelajaran yang bermula dari rumus, menghapalnya, kemudian diterapkan dalam contoh soal.
Model pembelajaran yang demikian tidak memberi ruang bagi siswa untuk melakukan observasi (mengamati), eksplorasi (menggali), inkuiri (menyelidiki), dan aktivitas-aktivitas lain yang memungkinkan mereka terlibat dan memahami permasalahan yang sesungguhnya. Model seperti ini yang mengakibatkan matematika bak kumpulan rumus yang menyeramkan, sulit dipelajari, dan nampak abstrak.
Pembelajaran matematika secara formal umumnya diawali di bangku sekolah. Sementara itu, matematika di sekolah masih menjadi pelajaran yang menakutkan bagi para siswa. Di antara berbagai faktor yang memicu hal ini adalah proses pembelajaran yang kurang asyik dan menarik. Model pembelajaran yang sering di temui pada pembelajaran matematika adalah proses pembelajaran bercorak “teacher centered”, yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru. Sehingga guru menjadi pemeran utama dan kehadirannya menjadi sangat menentukan. Pembelajaran menjadi tak dapat dilakukan tanpa kehadiran guru. Siswa cenderung pasif dan tidak berperan selama proses pembelajaran. Sehingga proses yang muncul adalah “take and give”. Dalam merangkai pembelajaran, guru pada umumnya terbiasa dengan model standar, yakni pembelajaran yang bermula dari rumus, menghapalnya, kemudian diterapkan dalam contoh soal.
Model pembelajaran yang demikian tidak memberi ruang bagi siswa untuk melakukan observasi (mengamati), eksplorasi (menggali), inkuiri (menyelidiki), dan aktivitas-aktivitas lain yang memungkinkan mereka terlibat dan memahami permasalahan yang sesungguhnya. Model seperti ini yang mengakibatkan matematika bak kumpulan rumus yang menyeramkan, sulit dipelajari, dan nampak abstrak.
Bagaimana Sebaiknya Matematika Diajarkan?
Matematika adalah ilmu realitas, dalam artian ilmu yang bermula dari kehidupan nyata. Selayaknya pembelajarannya dimulai dari sesuatu yang nyata, dari ilustrasi yang dekat dan mampu dijangkau siswa, dan kemudian disederhanakan dalam formulasi matematis. Mengajarkan matematika bukan sekedar menyampaikan aturan-aturan, definisi-definisi, ataupun rumus-rumus yang sudah jadi. Konsep matematika seharusnya disampaikan bermula pada kondisi atau permasalahan nyata. Berikut tahapan pengajaran yang dapat dilakukan:
- Siswa dibawa untuk mengamati dan memahami persoalan terlebih dahulu. Selanjutnya perkenalkan beberapa definisi penting yang harus dipahami agar siswa memiliki bekal untuk memahami fenomena-fenomena yang mereka temukan di lapangan.
- Ajak siswa untuk melakukan eksplorasi, mencoba-coba, dan biarkan mereka melihat apa yang terjadi. Di sini akan ada proses memunculkan ide-ide kreatif yang boleh jadi diluar dugaan guru. Di sinilah ruang kreatifitas terbentuk. Siswa akan lebih menikmati proses pembelajaran yang dilakukan.
- Biarkan siswa membuat hipotesis/dugaan atas apa yang mereka lakukan.
- Guru bersama siswa membahas kegiatan yang dilakukan. Berikan kesempatan pada para siswa untuk mempresentasikan hasil pengamatan mereka. Kemudian baru dilakukan proses verifikasi, meluruskan apa yang sudah dilakukan sehingga muncul formula atau rumus atau model yang dapat dijadikan rujukan ketika siswa menemukan persoalan serupa.
- Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah proses mengapresiasi. Seandainya hipotesis yang diambil oleh siswa ternyata kurang tepat maka guru hendaknya tetap memberi apresiasi. Dengan seperti itu, maka siswa akan tetap terpacu motivasinya.